Minggu, 16 September 2012

Sakinah Bersamamu- cerita ayah dan bunda keluarga cahaya



I pray for us, hopefully we get happy in the end- sakinah bersamamu.“ itulah lantunan do’a sederhana bunda Sinar dan ayah Hari.

Ayah dari ke empat anak-anak yang insyallah membanggakan itu bernama Matahari, atau lebih akrab di panggil Hari. Sedangkan bunda yang telah melahirkan keempat anak yang sholih-sholihah itu bernama Sinar.

Lihatlah, dari namanya saja mereka begitu serasi, Sinar dan Matahari. Matahari tidak akan ada gunanya tanpa sinarnya, dan sinar tidak akan ada tanpa matahari. Sungguh saling melengkapi dan tak terpisahkan. Semoga begitu pula dengan ayah dan bunda keluaga cahaya.

Sore itu seusai sholat magrib berjamaah bunda seperti biasa mencium tangan ayah tanda ta’zim dan ayah mencium kening bunda tanda sayang yang tiada putus-putusnya. Do’a selalu mereka lantunkan sehabis sholat, meminta dihapuskan segala dosa-dosa, dipermudah segala urusan dan dijadikan keluarga mereka sakinah, mawadah wa rahmah.
Alunan ayat suci mengalun merdu dirumah yang indah itu, bukan karena megah atau mewah, tapi karena kedamaiaan yang melingkupinya.

Rumah mereka tidak bisa dibilang besar, tapi cukup untuk hidup ayah bunda beserta keempat putra-putrinya. Di depan rumah terdapat pohon kelengkeng yang rindang dan terdapat pula kolam ikan yang cukup luas. Ada beberapa bangku kayu yang sengaja diletakkan di bawah pohon kelengkeng. Biasanya bangku itu dipakai bunda dan anak-anak bercerita disiang hari, selepas sekolah.

Didepan rumah terdapat teras yang cukup lebar, dan disana juga tersusun beberapa kursi kayu dan sebuah meja bulat yang terbuat dari kayu juga. Jika kalian masuk kedalam rumah tersebut akan terlihat banyak sekali ornamen-ornamen kayu, yang menandakan pemiliknya menyukai benda-benda yang terbuat dari kayu.
Suasana rumah jawa terasa kental, ruangan-ruangan yang terlihat longgar karena tidak terlalu banyak barang-barang yang memadatinya. Perabotan dari kayu menambah rumah terasa adem, dan iringan tembang jawa maupun alunan instrument yang kerap diputar menambah tentram orang yang berada didalamnya ataupun orang yang hanya sekedar lewat didepan rumah itu.

Adzan isya’ telah lama usai berkumandang, ayah dan bunda telah sedari tadi membereskan sarung dan mukena seusai sholat isya’ berjamaah.
Ayah menarik lembut tangan sang bunda, dan berbisik agar anak-anak tidak sampai mendengar, “Ayo manis, kita ketempat istimewa kita.” Bunda hanya tersenyum dan menurut saja ketika ayah menggandeng tangannya menuju sebuah pintu.
Udara segar berhembus menerbangkan ujung jilbab bunda, ayah segera nenutup pintu kembali dan merangkul bunda kesebuah bangku kayu yang berada dibawah pohon kelengkeng depan rumah mereka.

Mereka kini telah duduk berdampingan diatas bangku dibawah pohon klengkeng itu. Ayah melingkarkan tangan kanannya ke pinggul bunda dan mendekapnya erat. Mereke bersama-sama memandang langit yang cerah bertabur bintang dengan bulan yang sempurna bulatnya. Itulah tempat spesial mereka selama 14 tahun masa pernikahan mereka; masih mesra seperti dulu, masih sering melakukan hal-hal seperti saat mereka belia dan awal ketika jatuh cinta. Salah satunya seperti peristiwa malam ini, yang selalu mereka sempatkan berdua setiap bulannya saat tanggal 17 hijriyah; memandang bulan purnama.

Dulu waktu muda, ayah dan bunda ketika saling merindu pergi keluar dan memandang bulan, walupun mereka terpisah jarak, dengan memandang bulan yang sama jadi merasa dekat. Sejak dulu bulan selalu istimewa dan selalu punya daya tarik sendiri untuk dipandang berlama-lama.

“Alhamdulillah, Sinar bersyukur mas, bisa memandang bulan sekali lagi dengan orang yang paling Sinar cinta..” bunda membuka pembicaraan, memecah kesunyian malam. “Hmm, apa iya?” kata ayah dengan wajah sok serius. “Iya lah..” bunda menanggapi, “Manisku lebih cinta siapa, mas atau anak-anak?” lanjut ayah dengan wajah masih sok serius, “Loh, mas kok tanyanya gitu?” bunda mulai menegakkan tubuhnya, “Ya kan tinggal di jawab cintaku..” jawab ayah enteng. Bunda diam sejenak dan pura-pura berpikir keras, “Hmm, jadi begini ya ayah, mas Matahariku tercinta, Sinarmu ini mencintai Mataharinya melebihi siapapun, hari ini aku mencitaimu lebih dari kemarin mas, dan begitu seterusnya.” “Trus anak-anak??” lanjut ayah singkat, “Sinar juga mencintai anak-anak lebih daripada siapapun. Jadi cinta Sinar untuk mas dan anak-anak selalu bertambah setiap harinya.” Sebuah senyum lebar mengembang dibibir bunda. Sejurus kemudian ayah telah mencium pipi tembam bunda, sambil tertawa berkata, “Alhamdulillah, istriku memang pinter.” Tawapun pecah diantara keduanya yang masih bagaikan penganti baru itu.
“Kita tetap seperti ini ya sayang, sampai kakek nenek kelak.” Kata bunda pelan, pandangannya tidak lepas dari indahnya bulan, “Iya Insyallah cintaa.” Jawab ayah, “Aku ingin hidup sakinah bersamamu mas..” lanjut bunda dan ayahpun berkali-kali mengamininya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar