Siang itu, aku sedang melajukan motorku menerjang terik siang menyusuri jalan-jalan raya Jogja yang semakin hari semakin memadat saja. Kalau dipikir pikir, umurku banyak ku habiskan di jalan, dengan lampu merah hampir disetiap meter. (Hheheh, agak lebay gitu.)
Rumah Simbah di Sleman tujuan perjalananku siang itu. Lampu merah menyapa, memintaku menurunkan laju motorku dan berhenti di perempatan Ring Road jalan Magelang. Mobil mobil berderet, kecil besar sampai truk truk pengankut barang.
Sejurus kemudian,, anak-anak jalanan bertebaran. Tak seperti anak anak jalanan biasa yang memainkan alat music sederhana dengan suara yang pas pasan berharap ada yang berbelaskasih memberi mereka beberapa receh dan untung untung selembar ribuan. Anak jalan yang kulihat siang itu, cerdas kukira,, tak seperti biasanya mengulurkan tangan dengan muka memelas. Tapi mereka mengeluarkan amplop-amplop kecil dan diserahkan kepada para pengendara motor dan mobil yang berhenti karena lampu merah. Dan akupun mendapat satu amplop yang diatasnya tertuliskan “ Infaq untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah kami” “ Wah, anak anak Indonesia memang cerdas-cerdas ternyata” gumanku dalam hati. Seandainya kecerdasan mereka diarahkan ke hal-hal yang lain yang lebih baik. Kita punya banyak sekali calon-calon orang cerdas dan hebat yang pemerintah sendiri tidak memberikan fasilitas untuk menjadikan mereka orang hebat yang akan membangun negara kita kelak. Bukankah itu juga salah satu tanggung jawab pemerintah? Dalam undang-undang dikatakan bahwa ‘Anak yatim dan anak terlantar dipelihara oleh pemerintah’ bukan??
Sejuta pertanyaan dan pernyataan berjejalan diotakku;
-Astagfirullah, kenapa aku kadang suka malas kuliah, tidak memperhatikan penjelasan dosen, mengerjakan tugas juga sering ditunda-tunda. Bukankah aku seribu kali lebih beruntung dari mereka karena bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi?! Benar-benar tidak bisa mensyukuri nikmat aku ini.
-Seandainya mereka sekolah pasti akan jadi anak-anak yang cerdas.
-Benarkah adek-adek ini masih sempat memikirkan sekolah, mungkin seharian waktunya dihabiskan untuk berfikir bagaimana mengisi perut hari ini.
-Mereka mengemis seperti itu karena kemauan sendiri atau dipakasa orang tuanya yah?
-Apakah uang yang mereka dapat benar digunakaan untuk membeli makan dan biaya sekolah? Atau untuk membeli barang-barang terlarang dan membeli rokok?
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaaan serupa yang berseliweran diotakku setiap melihat mereka.
Tapi mereka menyadarkaku tentang secuil realita kehidupan di Indonesia.
Dimana raja malah dirajai oleh pelayannya.
Bukankah rakyat adalah raja? Segala pajak diambil dari uang rakyat. Gaji presiden, mentri, dan para pegawi negri juga diambil dari uang rakyat, uang raja mereka. Tapi mana fasilitas yang seharusnya didapatkan oleh rakyat?? Mana pelayanan yang seharusnya para pelayan rakyat itu berikan kepada rajanya?? Kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Semua harga membumbung tinggi kelangit hingga tak dapat dijangkau lagi oleh sebagian besar penduduk Indonesia yaitu rakyat kecil.
Yah, entahlah....
Aku menundukkan kepala, malu karna sebagai mahasiswa yang katanya ‘agent of change’ belum bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa menjerit lewat tulisan seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar